Ludruk tidak terbentuk begitu saja. Ia mengalami metamorfosa dan dialektika yang panjang.
Tidak cukup data untuk merekonstruksi waktu yang demikian lama. Hanya, Hendricus Supriyanto, pengamat seni ludruk, pernah mencatat ludruk sebagai teater rakyat dimulai tahun 1907, oleh Pak Santik dari Desa Ceweng, Kecamatan Goda Kabupaten Jombang.
Bermula dari kesenian ngamen yang berisi syair-syair dan tabuhan sederhana, Pak Santik bersama Pono dan Amir, berkeliling ke desa-desa. Pono mengenakan pakaian wanita dan dirias coretan pada wajahnya. Melihat itu, lahirlah istilah Lerok di kalangan penonton. Pertunjukan seni inipun mendapat sambutan penonton. Dalam perkembangannya, mereka sering diundang untuk mengisi acara pesta pernikahan dan pesta rakyat lainnya.
Selanjutnya, acara yang disuguhkan mengalami perubahan. Sebelum pertunjukan, diawali upacara persembahan untuk penghormatan ke keempat arah angin atau empat kiblat. Pemain utama memakai topi merah Turki, tanpa atau memakai baju putih lengan panjang dan celana stelan warna hitam. Dari sini, berkembanglah sebutan lerok menjadi lerok besutan. Lerok besut tumbuh subur pada 1920-1930. Setelah itu, bermunculan ludruk di Jawa Timur. Istilah lerok dan ludruk terus berdampingan sejak kemunculannya sampai tahun 1955. Namun, masyarakat dan seniman cenderung memilih ludruk.
Sezaman dengan dr Soetomo, pada 1933 Cak Durasim mendirikan Ludruk Organizatie (LO). Ludruk inilah yang merintis pementasan ludruk berlakon dan amat terkenal keberaniannya dalam mengkritik pemerintahan Belanda maupun Jepang. Bahkan, karena kidungan Jula Juli-nya yang melegenda itu; Bekupon Omahe Doro, Melok Nipon Soyo Sengsoro, ia dan kawan-kawan dipenjara oleh Jepang.
Pada masa kemerdekaan (1945-1965), ludruk yang terkenal adalah “Marhaen” milik “Partai Komunis Indonesia”. Ludruk digunakan sebagai corong PKI untuk penggalangan masa. Ada dua grup ludruk yang terkenal saat itu; Marhaen dan Tresna Enggal. Ludruk Marhaen pernah main di Istana Negara 16 kali. Ludruk ini juga berkesempatan menghibur para pejuang untuk merebut kembali Irian Jaya, TRIKORA II B. Ketika terjadi insiden G30S PKI, ludruk ini bubar.
Peristiwa G30S memporak-porandakan grup ludruk, terutama yang berafiliasi kepada Lembaga Kebudayaan Rakyat milik PKI. Terjadi kevakuman antara 1965-1968. Sesudah itu, muncullah kebijaksanaan baru terhadap grup-grup ludruk di Jawa Timur.
Peleburan ludruk dikoordinir oleh angkatan bersenjata, yaitu DAM VIII Brawijaya. Peleburan ini terjadi antara 1968-1970. Grup yang dilebur antara lain; eks-ludruk Marhaen di Surabaya menjadi ludruk Wijaya Kusuma unit I, eks-ludruk Anogara Malang menjadi Ludruk Wijaya Kusuma Unit II, eks-ludruk Uril A Malang menjadi Ludruk Wijaya Kusuma unit III, dan dibina Korem 083 Baladika Jaya Malang, eks-ludruk Tresna Enggal Surabaya menjadi Ludruk Wijaya Kusuma unit IV, dan eks-ludruk Kartika di Kediri menjadi Ludruk Kusuma unit V.
Di berbagai daerah, ludruk dibina oleh ABRI sampai tahun 1975. Sesudah itu mereka kembali ke grup seniman ludruk yang independen hingga kini. Pada masa ini ludruk benar-benar menjadi alat hiburan.
Balada Ludruk Kota
Sayangnya, di tengah perjalanan kelompok ludruk yang terus menata diri, ada banyak kelompok ludruk yang menghadirkan diri sambil mengelola manajemen kesenian miliknya secara apa adanya. Kondisi ini, tukas Hengky, dipicu oleh mudahnya seseorang atau sekelompok orang mengurus Nomor Induk Kesenian (NIK). NIK ini sekarang diurus oleh Dinas Pariwisata, dulu diurus oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
Akibat kemudahan itu, ucapnya, menjadikan persaingan di kalangan ludruk makin sengit. Betapa tidak, kelompok ludruk yang memiliki NIK di Surabaya maupun kota-kota lain jumlahnya ratusan. “Sebagian besar mereka bukan seniman. Kalau mereka dapat tanggapan, tinggal comot kenalannya ala kadarnya. Bahkan mereka berani banting harga,” tukasnya.
Akhirnya yang terjadi seleksi alam. Katanya, mereka yang asal tampil begitu mendapat tanggapan, tanpa bekal kesenimanan akan tumbang sendiri. Di Surabaya juga mengidap penyakit serupa. Tak heran, tambahnya, kelompok-kelompok ludruk di kota yang disebut-sebut sebagai kota ludruk ini, satu persatu berguguran. Kelompok ludruk yang masih bertahan pun hanya sedikit mendapat tanggapan.
Ditambah lagi, ulasnya, apresiasi publik Surabaya lebih tersedot pada kontes-kontesan, atau tenggelam menikmati tayangan seni-seni modern. Kesenian tradisional akhirnya lari ke pinggir-pinggir kota. Berbagai upaya dilakukan untuk mendekatkan ludruk dengan publik Surabaya, tapi tak cukup signifikan menyedot perhatian. Dewan Kesenian Surabaya, misalnya, membuka kran pada kelompok ludruk untuk tampil dua kali dalam sebulan, tak ada gaungnya. Pernah pula diadakan festival bagi grup-grup ludruk di Surabaya untuk memperebutkan tiga besar terbaik, pun tak kedengaran hasilnya.
Alhasil, dunia ludruk masih memprihatinkan nasibnya. Apalagi ludruk di
Surabaya. Para seniman ludruk masih banyak yang sibuk dengan eksplorasi seni, atau eksplorasi jiwa bahkan sedang menganggur. Tak jarang mereka kembali ke desa untuk bertani. Sebagian lainnya bahkan hanya menunggu uluran tangan pemerintah untuk menyelamatkan keberadaan grup ludruknya yang kembang kempis. SUARASURABAYA