
Nama Alun-alun Contong tidak asing lagi bagi warga asli Surabaya, namun kampung yang lebih dikenal dengan nama Baliwerti ini merupakan pusat perdagangan mulai dulu hingga kini.
Nama Alun-alun Contong tidak asing lagi bagi warga asli Surabaya, namun kampung yang lebih dikenal dengan nama Baliwerti ini merupakan pusat perdagangan mulai dulu hingga kini.
Padahal, nama Baliwerti ini adalah salah satu kawasan yang berada di dalam wilayah Kelurahan Alun-alun Contong. Orang mengenal Baliwerti karena dulunya kampung ini dikenal sebagai pusat perdagangan keramik dan alat-alat untuk perlengkapan rumah tangga.
Banyak kawasan kampung tua di Surabaya salah satunya adalah Alun-alun Contong. Dijuluki Alun-alun Contong karena lokasi geografinya memang mirip contong. Dalam bahasa Jawa contong bisa berarti corong atau pincuk berbentuk kerucut. Nah, Alun-alun Contong bentuknya juga seperti kerucut maka disebutlah Alun-alun Contong.
“Ya bentuknya memang seperti contong, maka disebut Alun-alun Contong,” kata Moh Amin Kepala Kelurahan Alun-alun Contong.
Dalam sejarahnya, kata Amin, Alun-alun Contong itu dulunya posisinya membujur dari arah barat ke Timur. “Dulu itu contongnya ada di sebelah barat terus ke arah Timur,” katanya. Namun, sekarang posisi Alun-alun Contong itu sudah berubah menghadap ke Selatan – Utara.
Bagi yang belum mengetahui, letak Alun-alun Contong itu bila dari arah Jalan Pahlawan maka jalan itu akan pecah menjadi dua yakni Jalan Kramat Gantung dan Jalan Pahlawan. Selanjutnya pertemuan jalan tersebut tepat berada di sisi Alun-alun Contong. “Kalau sekarang ini berada tepat di depan pintu masuk Jalan Baliwerti,” kata Amin.
Selain keberadaan Alun-alun Contong sebagai bukti sejarah Surabaya, di kawasan ini juga banyak terdapat situs cagar budaya Surabaya. Contohnya Kampung Kraton, Kantor Gubernuran, Tugu Pahlawan, Viaduk Kerata Api, Kampung Praban, Jalan Tumenggungan, Kampung Kepatihan, dan sebagainya.
Kusnoadi seorang warga Tumenggungan yang juga Ketua RW VIII, mengatakan, kawasan Alun-alun Contong dulunya merupakan tempat berkumpulnya kapal-kapal pedagang dari luar Surabaya. “Dulu namanya Balo Werti atau tempat kumpulnya perahu,” ujarnya.
Menurutnya perahu-perahu tersebut melalui Kalimas kemudian bersandar di sekitar Balo Werti. “Pedagang ini menyandarkan perahunya lalu mereka berdagang di kawasan Alun-alun Contong ini,” katanya. Tempat tersebut juga semakin ramai karena di sekitarnya ramai dikelilingi parkir bendi (Kereta kuda ).
Setelah tahun 1965, tempat tersebut berkembang dan menjadi sebuah kawasan perdagangan. Bahkan di Balo Werti itu juga ada sekolah Chung-Chung. Sebuah sekolah yang diperuntukkan bagi orang-orang yang berduit.
Perkembangan waktu sekolah itu bubar dan diambil alih oleh pemerintah, akhirnya dipergunakan untuk kampus ITS. “Saat itu saya masih ingat ada Fakultas Teknik Mesin, Arsitektur, Kimia, dan Perkapalan,” kenangnya.
Di tengah Alun-alun Contong itu dulu juga ada sebuah tugu, dalam sejarahnya tugu tersebut dibangun untuk mengenang jasa Von Bultzingslöwen diambil dari nama Günther von Bultzingslöwen (1839-1889), mantan konsul Jerman di Surabaya yang berjasa terhadap Palang Merah di Perang Aceh I (1873-1874). Di Tahun 1889 lapangan berbentuk kerucut ini diberi nama Von Bultzingslöwenplein.
Saat ini peruntukan kawasan Alun-alun Contong juga masih sama seperti jaman dulu yakni dipergunakan sebagai kawasan perdagangan. Hanya saat ini kawasan yang diberi nama Baliwerti ini dikenal warga Surabaya sebagai pusat keramik dan perkakas rumah tangga.
Mbah Jumput
Keberadaan Alun-alun Contong tak bisa lepas dari Mbah Jumput. Sosok Mbah Jumput atau Joko Jumput adalah cikal bakal berdirinya Alun-alun Contong dan Surabaya pada umumnya.
Bahkan hingga kini Mbah Jumput dipercaya masing keliling menjaga kampung setiap malam Jumat.
“Setiap malam Jumat Mbah Jumput ini masih berkeliling kampung, makanya kampung Praban Kinco dan sekitarnya ini aman,” papar Abdul Goffar Baidowi, warga Praban Wetan IV yang juga juru kunci Makam Joko Jumput. (iit/sumber:surya)


