
Sejarah baru ditoreh Presiden SBY. Dengan mengangkat 13 wakil menteri baru, total pos wakil menteri bakal mencapai 19. Kita bisa memahami bila reshuffle kabinet kali ini dinilai hanya membuat gemuk postur Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri atas 34 menteri, satu sekretaris negara, dan empat pejabat setingkat menteri. Penambahan wakil menteri mengaburkan signal efisiensi yang kerap didengung-dengungkan pemerintah.
Perlukah jabatan wakil menteri (wamen)? Perlu, tapi tidak harus 6 apalagi 19. Jabatan wamen cukup untuk beberapa kementerian yang sangat besar seperti Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Jika Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) hendak diberikan dua wakil, masih bisa dimengerti karena urusan “Kebudayaan” yang selama ini berada di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata akan dialihkan ke Kemendiknas. Sebagai gantinya, Kementerian Pariwisata akan ditambah “Ekonomi Kreatif”.
Di luar dua kementerian itu, jabatan wamen tidak dibutuhkan. Masyarakat tidak habis pikir membaca siaran tentang pos Wakil Menteri Agama. Apa saja yang diurusi kementerian ini, sehingga harus diberikan seorang wamen? Begitu pula Wakil Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi. Kalau pun kementerian ini dilikuidasi, tak ada masalah. Pos baru wamen lebih merupakan upaya mengakomodasi kepentingan parpol ketimbang upaya sungguh-sungguh melakukan akselerasi pembangunan.
Publik dengan mudah bisa membaca betapa tekanan parpol koalisi amat dahsyat menjelang reshuffle kabinet yang direncanakan diumumkan Rabu, 19 Oktober 2011. Meski kepada publik, setiap ketua parpol menyatakan sikap menyerahkan sepenuhnya reshuffle kabinet kepada Presiden, diam-diam, mereka “mengancam”. Jika jumlah menteri dikurangi, koalisi akan tinggal nama. Mereka tetap berpegang pada kesepakatan koalisi Presiden dengan parpol dan kontrak politik antara menteri dan Presiden.
Saat menjelaskan latar belakang pertemuannya dengan pimpinan parpol, Kamis (13/10), Presiden menyatakan, realitas politik menuntut presiden untuk meminta pendapat parpol koalisi tentang reshuffle kabinet. “...Presiden angkat saja siapa pun tanpa pertimbangan dari parpol mana. Dalam real politics, tentu tidak kenal seperti itu, kita berkoalisi. Di negara mana pun ada etika koalisi tapi ada kewajiban,” papar Presiden.
Kita bisa memahami upaya Presiden mempertahankan jumlah kursi masing-masing parpol koalisi. Jika kepentingan parpol koalisi tidak lagi diakomodasi, jalannya pemerintahan yang tinggal 2,5 tahun bakal oleng.
“...diharapkan hubungan pemerintah dan DPR di masa depan bisa berlangsung makin sehat dan konstruktif, kalau tidak banyak hambatan yang tidak perlu. Ini opportunity cost, merugi,” ungkap Presiden. Beberapa kali, Presiden menyebutkan “real politics”. Presiden tidak mau sisa masa pemerintahannya diisi oleh pertengkaran tiada henti antara pemerintah dan DPR. Apalagi, parlemen kini memiliki sejumlah “amunisi” untuk terus menggoyang Presiden. Ada kasus mantan Ketua KPK Antasari Azhar yang kini kembali dipersoalkan karena ada novum atau bukti baru bahwa ia hanya korban rekayasa politik. Ada kasus Century yang siap digulirkan lagi. Ada kasus mantan Bendahara Partai Demokrat Nazaruddin. Tiga kasus ini bagaikan peluru kendali antarbenua yang siap diluncurkan DPR.
Dalam pada itu, dari kubu Wapres, ada upaya serius untuk mempertahankan menteri yang dianggap “prudent” seperti Menkeu Agus Martowardojo kendati ia acap berseberangan dengan DPR. Agus dinilai sukses menjaga stabilitas fiskal di tengah krisis ekonomi global yang disebabkan oleh besarnya utang. Realitas ini membutuhkan “kompromi” dengan parpol koalisi, khususnya parpol yang “menguasai” Badan Anggaran DPR.
Alhasil, wamen menjadi solusi untuk mencairkan kebekuan. Di setiap kementerian yang dipimpin parpol diberikan wamen yang berasal dari pejabat karir dan kalangan profesional. Itu sebabnya, menteri agama yang ketua parpol diperkuat oleh wamen yang profesional. Pada kementerian yang dipimpin menteri yang “keras” terhadap DPR, diberikan tambahan wamen yang bisa lebih luwes berhadapan dengan DPR.
Akan tetapi, mengingat tujuan utama reshuffle kabinet adalah pembentukan tim yang solid, efektif, dan responsif menghadapi tantangan domestik dan global, dua hal berikut perlu menjadi pertimbangan. Pertama, menteri dan wamen haruslah figur kapabel, pro-rakyat, bersih dari korupsi, dan mampu berkoordinasi. Jika figur menteri yang tidak pro-rakyat, tidak bersih, tidak kapabel, dan tidak mampu berkoordinasi tetap dipertahankan, gelombang protes rakyat akan membesar.
Upaya menjaga dukungan parpol dan DPR adalah satu hal. Tapi, di pihak lain, ada tantangan yang jauh lebih besar, yakni dukungan rakyat. Riak protes rakyat sudah terjadi di mana-mana. Jangan sampai reshuffle menjadi momentum yang memicu riak kecil ini menjadi gelombang besar. Apalagi saat ini, masyarakat kian muak terhadap parpol dan DPR karena ulah mereka yang mengabaikan kepentingan rakyat. Jatuhnya Presiden Soeharto bukan karena tekanan parlemen, tapi gelombang protes rakyat.
Kedua, kelemahan utama pemerintahan ini adalah manajemen. Kita bisa melihat mismanajemen di mana-mana, dari instansi tertinggi hingga paling rendah. Informasi yang dihimpun harian ini menunjukkan, 6 wamen yang sudah dua tahun bertugas, tidak tahu apa tugasnya. Tidak ada job description, apalagi key performance indicator. Para menteri itu semata-mata hanya menjadi ban serap, yang baru bertugas bila menteri berhalangan atau sekadar dikirim ke forum seminar dan diskusi untuk membaca pidato menteri.
Selama ini, para menteri tidak bekerja dengan koordinasi yang baik meski ada tiga menko. Posisi menko juga tidak jelas karena faktanya mereka tidak mampu mengkoordinasi para menteri di bidangnya. Ada indikasi menko kalah wibawa dengan para menteri karena tidak memiliki kapabilitas dan integritas serta akses langsung ke Presiden. Di internal kementerian, menteri tidak mampu mengkoordinasi para dirjen. Tingkah laku birokrasi tidak pernah bisa berubah.
Kita bisa memahami pengangkatan 13 wamen baru sebagai solusi dalam menjaga hubungan dengan DPR dan upaya meningkatkan kinerja kabinet. Tapi, tanpa kewenangan yang jelas, jabatan wamen akan tetap mubazir. Nasib 13 wamen baru akan sama dengan 6 wamen yang selama ini galau. Jika nantinya tetap begini adanya, reshuffle kabinet bukan solusi, tapi masalah baru. Kita semua tidak menghendaki ini terjadi.