
Ketua Ikatan Guru Indonesia Satria Dharma mendesak Menteri Pendidikan Nasional menghentikan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional. “Konsep RSBI ini saja sudah salah. Praktiknya tambah tidak jelas. RSBI bahkan telah menciptakan kastanisasi dalam dunia pendidikan. Menteri harus menghentikan program ini secepatnya,” tegas Satria Dharma kemarin.
Menurut Satria Dharma, jika dicermati program RSBI ini mengandung banyak kekurangan mencolok. Alih-alih menghasilkan kualitas bertaraf internasional, kualitas pendidikan nasional justru akan terjun bebas. Mengapa? Ada beberapa kelemahan mendasar dari program SBI ini. ” Program ini tampaknya tidak didahului dengan riset yang mendalam dan konsepnya lemah. Dengan menyatakan bahwa SBI = SNP + X, sebenarnya konsep SBI ini tidak memiliki bentuk dan arah yang jelas. Tidak jelas apa yang diperkuat, diperkaya, dikembangkan, diperdalam, dan lain-lain tersebut,” tandasnya.
Sekolah-sekolah yang mengadopsi atau berkiblat pada standar internasional seperti Cambridge atau International Baccalaureate (IB) adalah sekolah-sekolah yang memang dirancang untuk mempersiapkan siswa-siswa mereka agar dapat melanjutkan ke luar negeri. Dengan sistem kurikulum tersebut, siswa itu memang dipersiapkan untuk dapat belajar di luar negeri. Mereka bahkan tidak perlu mengikuti ujian nasional karena mereka memang tidak berencana meneruskan pendidikan mereka di universitas di Indonesia.
Dengan demikian, apakah sebenarnya yang hendak dituju dengan program SBI ini? Jika yang hendak dituju adalah peningkatan kualitas pembelajaran dan output pendidikan, mengadopsi IB ataupun mengikutsertakan siswa dalam ujian Cambridge bukanlah jawabannya. Ujian Cambridge diperuntukkan bagi siswa yang ingin melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Meski demikian, nilai yang tinggi dalam ujian Cambridge juga bukan jaminan bahwa siswa dapat diterima di perguruan tinggi di luar negeri. Nilai ujian Cambridge hanya akan memudahkan siswa untuk dapat diterima di perti LN karena nilai ujian Cambridge diakui oleh beberapa negara.
Permasalahannya, menurut Satria Dharma, berapa banyak dari siswa kita sebenarnya yang ingin melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Berapa persenkah dari lulusan sekolah publik (negeri) yang benar-benar ingin dan mampu, baik secara finansial maupun intelektual, untuk melanjutkan studinya ke luar negeri. Jika Depdiknas tidak memiliki data statistik tentang hal ini, mengapa tiba-tiba timbul kebijakan untuk mengubah sekolah-sekolah negeri menjadi SBI yang berkiblat pada Cambridge. ”Bukankah ini suatu pengorbanan yang sangat sia-sia yang bakal menelantarkan siswa-siswa lain yang tidak akan melanjutkan pendidikannya ke luar negeri? Untuk apa kita mengerahkan seluruh energi dan kapasitas kita membawa siswa menuju ke sistem Cambridge, umpamanya, jika sebenarnya tujuan yang hendak dituju bukanlah ke sana,” protes Satria Dharma.
Kritik paling mendasar, ujar Satria Dharma, barangkali adalah kesalahan asumsi dari penggagas sekolah ini bahwa sekolah bertaraf internasional itu harus diajarkan dalam bahasa asing (Inggris khususnya) dengan menggunakan media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD. Padahal, negara-negara maju seperti Jepang, Prancis, Finlandia, Jerman, Korea, Italia, dan lain-lain tidak perlu menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar jika ingin menjadikan sekolah mereka bertaraf internasional.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Taufik Yudi Mulyadi mengatakan, pihaknya terus melakukan evaluasi menyeluruh terhadap 10 sekolah rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) di wilayahnya. "Evaluasi dan pembinaan dilakukan terus menerus dari berbagai aspek, tidak hanya soal biaya saja," kata Taufik yang dihubungi di Jakarta, Minggu, menanggapi mengenai polemik RSBI yang berbiaya mahal.
Taufik mengatakan evaluasi terhadap RSBI meliputi berbagai aspek dari manajemen, sarana dan prasarana, kurikulum, pembiayaan, rekrutmen siswa, tenaga pengajar sampai dengan hasil akademisnya. "Evaluasi dilakukan tiap tiga bulan, per enam bulan, per tahun. Bahkan dalam pertemuan antar bidang, evaluasi bisa dilakukan per bulan," jelasnya.
Evaluasi tidak hanya oleh Disdik DKI, tetapi juga Suku Dinas Pendidikan, dan bahkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional. Agar lebih mengedepankan evaluasi dari sisi kinerja, Taufik mengatakan, pihaknya telah mengubah pengawas yang biasanya dilakukan oleh pengawas untuk satu wilayah. "Khusus RSBI, pengawas berdasarkan sektoral yaitu ditunjuk satu pengawas untuk seluruh RSBI yang berjumlah 10, meski tersebar di berbagai wilayah Jakarta," katanya.
Salah satu poin evaluasi yaitu mengenai kemampuan tenaga pengajar dalam berbahasa Inggris sebagai bahasa pengantar kegiatan belajar mengajar. "Jangan dipaksakan suatu sekolah menjadi RSBI kalau tenaga pengajarnya tidak bisa berbahasa Inggris," katanya.
Taufik mengharapkan sekolah yang benar-benar siap akan menjadi RSBI dan nantinya bisa menjadi sekolah bertaraf regional, bahkan internasional.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X DPR Rully Chairul Azwar meminta Pemerintah segera membuat payung hukum bagi penyelenggaraan rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) untuk menekan peluang korupsi melalui berbagai pungutan yang memberatkan masyarakat.
"Tujuan pemerintah menyelenggarakan RSBI sangat baik, untuk meningkatkan mutu pendidikan, namun kenyataannya yang terjadi di lapangan justru terjadi komersialisasi, " katanya pada diskusi bertema "Apakah RSBI dan SBI telah dikomersilkan? " di Jakarta, Rabu (9/6).
Ia mengatakan, bila pemerintah dan pemerintah daerah memang belum siap sebaiknya penyelenggaraan RSBI tidak dipaksakan, sebaiknya pemerintah agar menyiapkan dahulu payung hukumnya berupa peraturan pemerintah (PP) namun dalam masa transisi bisa dibuat peraturan mendiknas (permendiknas) dahulu. (her/ant).