Pelaku industri alas kaki di Jawa Timur (Jatim), khsuusnya yang tergolong kecil dan menengah mengaku tidak bisa merasakan manisnya penjualan alas kaki saat lebaran kali ini.
Pasalnya, sejak pemberlakuan perjanjian Asean China Free Trade Area (ACFTA) Januari 2010, penjualan mereka terus mengalami penurunan yang cukup besar. Bahkan, momen lebaran dan tahun ajaran baru kemarin tak mampu mendongkrak kinerja mereka di tahun ini.
"Ada banyak jenis alas kaki dari China yang harganya sangat murah telah membanjiri pasar domestik, sehingga produksi alas kaki Jatim tidak bisa terserap pasar. Bahkan di lebaran kali ini produksi industri alas kaki Jatim secara umum justru turun sekitar 25% dibanding lebaran 2009," ungkap Ketua Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Jawa Timur, Sutan Siregar di Surabaya, Jumat (13/8/2010).
Penurunan terparah, lanjut Sutan, terjadi pada industri alas kaki kecil yang masuk kategori usaha kecil menengah (UKM), penurunannya sekitar 50% hingga 60% dibanding lebaran tahun lalu. Khususnya UKM yang berada di wilayah Mojokerto dan Sidoarjo, dua daerah yang menjadi sentra UKM alas kaki terbasar Jatim.
"Memang tidak semua UKM mengalami penurunan yang cukup ekstrim, ada juga yang sama dengan tahun lalu dan ada juga yang mengalami kenaikan, itupun tidak lebih dari 10% dibanding tahun lalu," jelasnya.
Terkait omset yang bisa dicapai, Sutan mengungkapkan jika pada lebaran tahun lalu omset industri alas kaki Jatim secara umum bisa mencapai 180 juta pasang selama tiga bulan menjelang lebaran, saat ini produksi mereka hanya mencapai 140 juta pasang akibat genpuran produk alas kaki China sejak Januari yang lalu.
"Kondisi ini sebenarnya sudah diakui oleh Kementerian Perdagangan, bahwa pasca ACFTA, realisasi impor alas kaki Indonesia dari China naik sekitar 50%. Yang jelas, impor tersebut tidak melewati Tanjung Perak karena pengawasan disana cukup ketat," katanya dengan tegas.
Sebenarnya, terangnya, kapasitas produksi alas kaki Jatim mencapai 25 juta hingga 30 juta pasang per bulan. Dan Jatim merupakan daerah pemask produk alas kaki terbesar dari kebutuhan alas kaki domestik sebesar 470 juta pasang per tahun.
"Kalau sebelumnya, pasokan Jatim ke pasar domestik bsia mencapai 75% hingga 80%. Karena permintaan turun, akhirnya sekarang hanya bisa berproduksi sekitar 25% dari kapasitas," terangnya.
Untuk mengatasi kondisi tersebut, Sutan berharap pemerintah berupaya melindungi industri dalam negeri dengan melakukan sweeping produk alas kaki impor yang tidak sesuai dengan aturan, seperti yang biasa dilakukan oleh pemerintah terhadap produk makanan dan minuman saat puasa dan lebaran.
"Memang sudah ada keinginan baik dari pemerintah untuk melakukan labelisasi produk domestik. Namun langkah itu akan semakin tepat jika nantinya pemerintah juga melakukan sweeping terhadap produk alas kaki impor yang tidak jelas," ungkapnya.
Selain itu, Sutan juga berharap, pemerintah akan terus memperketat masuknya impor alas kaki melalui 6 pelabuhan yang telah diputuskan dan mempermudah akses permodalan lunak bagi UKM alas kaki.
Selama ini, ungkapnya, akses permodalan lunak melalui Bank Jatim terbilang masih kecil. Karena modal yang diperlukan mereka minimal Sekitar Rp200 juta per unit UKM, sementara modal dengan suku bunga lunak sekitar 6% hanya diberikan Bank Jatim maksimal Rp100 juta. Sehingga sisanya harus mengambil dari bank umum dengan bunga komersial sebesar 14% hingga 15%.
"Jika tiga upaya tersebut telah dilakukan, saya yakin UKM alas kaki Jatim nantinya tidak akan mati suri," tekannya. (KABARBISNIS)


