BThemes

tes
News Update :

Habitat Ludruk Memang Bukan di Surabaya

27 Jul 2010

Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya ternyata tidak memberikan tempat bagi ludruk dalam peringatan Hari Jadi tahun ini. Sebagaimana tulisan Widodo Basuki, bahwa HUT Surabaya (ternyata) melupakan ludruk (JP, 10 Mei, 06). Memang ironis, tetapi itu realistis, karena pada prakteknya ludruk memang bukan lagi menjadi ikon kota Surabaya. Kalau selama ini ludruk masih disebut-sebut sebagai milik kota Surabaya, itu hanya sebatas realitas politis, bukan realitas empiris.

Sebagaimana ditulis Widodo, mengutip pernyataan Hengky Kusuma, bahwa ludruk RRI Surabaya sendiri ternyata juga amat jarang pentas di Surabaya. Satu-satunya grup ludruk yang bertahan hanya Irama Budaya di tobong Pulo Wonokromo. Itupun miskin penonton, dan entah sampai kapan sanggup bertahan. Kalau toh ada pentas ludruk di Surabaya, paling-paling digelar di seputaran kampung Tambak Asri atau seputar Putat, yang notabene merupakan kawasan lokalisasi.

Kenyataan inilah yang kemudian menjadikan beberapa pengamat mengklaim bahwa nasib ludruk semakin terpinggirkan, ludruk hampir punah, langka, bahkan ludruk dianggap sudah tidak diminati masyarakat lagi. Benarkah begitu? Kalau mau dicermati, sebetulnya ludruk tidak punah, tidak langka, bahkan masih diminati masyarakat. Sekadar menyebut contoh, ludruk Karya Budaya di Mojokerto sana malah rajin mendapatkan tanggapan hampir setiap hari. Nyaris tidak ada hari yang kosong tanggapan dalam sebulan. Hal yang sama juga terjadi pada beberapa grup ludruk lainnya.

Kenyataan ini menunjukkan, bahwa nasib ludruk bukan mengenaskan, bukan ditinggalkan penontonnya, melainkan memang tumbuh di habitat yang seharusnya cocok untuk ludruk. Kalau ludruk bernasib merana di Surabaya, itu karena kota Surabaya yang sekarang ini memang bukan lagi menjadi habitat yang subur bagi ludruk. Kenangan jaman Cak Gondo Durasim sudah menjadi sejarah. Bahwa ludruk pernah berjaya di Surabaya, itu dulu. Kota Surabaya sudah jauh berubah, sudah menjadi metropolis, yang semakin jauh dari nilai-nilai lokalitas masyarakat urban yang membutuhkan hiburan semacam ludruk.

Jangankan ludruk, Srimulat saja mati ketika mencoba tetap bertahan di kompleks THR. Selama ini ada tuduhan bahwa posisi gedung Srimulat di belakang Mall merupakan penyebab. Padahal sebetulnya (pertunjukan panggung) Srimulat sudah tidak memberikan daya tarik apapun bagi masyarakat. Sajian panggung Srimulat malah kalah bagus dibanding yang di televisi. Ironisnya, mereka yang berkibar di televisi itu selama ini merupakan pembelot Srimulat namun malah berjaya dengan tetap menggunakan nama Srimulat, atau setidaknya dikenal masyarakat seolah-olah mereka masih di Srimulat.

Jadi, upaya untuk menghidupkan ludruk di Surabaya yang pernah dilakukan beberapa pihak selama ini, sebetulnya tak ubahnya sebagai sebuah klangenan belaka. Seperti halnya ketika berlangsung Festival Ludruk dalam payung Festival Budaya 2003 di Balai Pemuda, atau juga pentas ludruk gabungan di tempat yang sama tahun lalu. Untuk kota metropolis seperti Surabaya, ludruk hanya dipandang sebagai sesuatu yang pernah dimiliki Surabaya, namun secara kultural sudah tidak mendapatkan dukungan lagi dari masyarakatnya.

Dukungan kultural itu justru terjadi di Mojokerto, Jombang dan bahkan Malang. Mengapa Karya Budaya menjadi laris ditanggap dimana-mana, itu juga karena dukungan kultural masyarakatnya. Analog dengan teori habitat dalam ekologi, bahwa setiap mahluk hidup akan tumbuh subur atau hidup layak manakala lingkungan ekologinya memang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Semakin kecil nilai dukungan itu, maka keberadaannya hanya sekadar ada, seperti pohon yang tetap bisa tumbuh namun tak bakal bisa berbuah.
Itulah sebabnya mengapa kesenian samroh, hadrah, slawatan dan semacamnya bisa tumbuh subur di daerah-daerah yang berbasis Islam. Ludruk, Ketoprak, Wayang berkembang di daerah yang cenderung “abangan” karena ekologi budayanya memang cocok untuk kesenian-kesenian yang profan. Tentu saja, “rumus” seperti itu memang tidak seratus persen berlaku lantaran ada sejumlah variabel lainnya.

Karena itu, kalau ternyata HUT Kota Surabaya ternyata tidak menyertakan ludruk di dalamnya, sebetulnya tidak terlalu salah, meskipun sangat mungkin hal ini dilakukan memang karena ketidak-tahuan. Hanya saja, kalau bukan ludruk, lantas apa? Masih adakah kesenian lain yang pantas dibanggakan sebagai ikon Surabaya? Loro Pangkon adalah sebuah upacara adat perkawinan khas Surabaya, dan bukan seni pertunjukan sebagaimana ludruk yang dapat dipertontonkan sebagai hiburan.

Tetapi, kalau memang pemkot Surabaya bertekat mengklaim ludruk sebagai ikon kota Surabaya, bisa-bisa saja hal itu dilakukan. Artinya, realitas politis itu harus ditindaklanjuti dengan kebijakan menumbuh-kembangkan ludruk secara sistematis dan dilakukan dalam konsep kebijakan yang jelas. Misalnya saja, dengan memberikan subsidi permanen terhadap ludruk tobong di Pulo Wonokromo itu, bukan membiarkan saja mati segan hidup tak mau sebagaimana sekarang ini. Grup yang pentas bisa dibuat giliran.

Kedua, mendirikan semacam Pusat Pelatihan Ludruk agar tumbuh generasi baru penerus seni ludruk. Para pelaku ludruk tradisional yang selama ini terbukti eksis dapat menjadi narasumber di lembaga ini. Ketiga, menggelar festival ludruk antar-kampung sehingga nantinya ludruk menjadi kesenian alternatif yang dapat dibanggakan anak-anak muda di kampung-kampung Surabaya. Model pendekatan festival ini, asal dilakukan dengan simultan, masih terbukti ampuh untuk menumbuhkan kecintaan masyarakat. Apa boleh buat, masyarakat kita memang masih menganut budaya seperti itu. Sebagaimana halnya kampanye kampung bersih melalui Lomba Green and Clean yang baru berakhir kemarin.

Keempat, mempromosikan dan mengelola ludruk secara profesional sebagai kesenian yang pantas dijual sebagai atraksi wisata. Dinas Pariwisata harus serius membina dan menjalin akses seluas-luasnya demi mengangkat pamor ludruk di berbagai kesempatan. Dalam kaitan ini, institusi-institusi pemerintah yang terkait (Taman Budaya dan Subdin Kebudayaan serta RRI Surabaya) harus mau bergandeng tangan demi mengangkat dan mempopulerkan ludruk.

Kelima, memberikan reward yang layak kepada para pelaku ludruk yang selama ini sudah berjuang menguri-uri kesenian rakyat yang pernah mengharumkan nama Surabaya lewat kidungan Cak Durasim itu. Penghargaan ini tidak hanya sebatas bingkisan uang atau barang, melainkan lebih penting lagi adalah (misalnya) memberikan pelatihan untuk menciptakan lapangan kerja sebagai penghasilan tambahan (atau malah pokok) disamping bermain ludruk. Apalagi hanya berhenti dengan cukup memberikan nama Gedung Cak Durasim.

Pertanyaannya, apakah betul pemerintah memiliki keseriusan seperti itu? Jujur saja, selama ini banyak pejabat yang mengaku cinta kesenian, yang suka pamer kepedulian terhadap kesenian rakyat, namun sayangnya tidak disertai dengan tindakan kongkrit yang betul-betul tepat guna, bukan hanya sekadar karitatif belaka. Perhatian yang diberikan pemerintah terhadap ludruk selama ini masih sebatas memberikan subsidi temporer, memberi kesempatan pentas, atau kadang-kadang hadiah lebaran bagi pemainnya.
Memang itu sudah lumayan, meski belum bisa bermakna banyak bagi pengembangan ludruk itu sendiri.
Memang susah menumbuh-kembangkan ludruk dengan persyaratan seperti tersebut di atas. Kalau tidak, jangan sekali-sekali mengklaim bahwa ludruk milik kota Surabaya. Harus diakui, bahwa pemkab Jombang ternyata lebih serius membina ludruk. Demikian juga Dewan Kesenian Kabupaten Malang (DKKM) yang ternyata punya perhatian dan semangat juang tersendiri mengembangkan ludruk.

Jadi, kalau dalam HUT Surabaya tidak ada pentas ludruk, memang begitulah realitasnya. Jangan-jangan kota Surabaya harus mengucapkan, “Selamat Tinggal Ludruk.” Apa begitu? (HENRI NURCAHYO)
Share this Article on :
 

© Copyright surabaya view 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.