BThemes

tes
News Update :

Satu Kelas Hanya Satu Siswa, Belajar Tetap Semangat

6 Agu 2010

Sungguh ironis kondisi pendidikan di SD Tanwirul Wathon, Blauran, Kecamatan Genteng. Sekolah di bawah Lembaga Pendidikan Maarif ini, satu kelas ada yang hanya berisi dua siswa, yakni kelas satu. Sementara total siswa di sekolah ini 46 anak.

Sayang, saat Surya mengunjungi sekolah yang berdiri sejak puluhan tahun silam ini sudah tutup. Meski waktu masih menunjukkan pukul 11.30 WIB. “Anak-anak kita pulangkan dini karena ada Agustusan,” sapa Imam Syafi’i, Kepala SD Tanwirul Wathon, Kamis (5/8).

Sekolah ini berada di tengah-tengah permukiman padat penduduk. Lokasinya agak sedikit bersembunyi di Jl Blauran Gang III/27. Bangunan sekolah ini lebih mirip gedung rumah dengan tiga ruang kelas yang disekat nonpermanen menggunakan papan kayu.

Maklum, tiga ruang kelas itu berada dalam satu ruang dengan luas 12 x 7 meter. Di dalam ruangan ini berjajar bangku dengan tempat duduk menempel meja. Di dalam meja terdapat laci terbuka. “Dampar kuno. Hanya kami yang mau memakainya barangkali,” kata Imam.

Sekolah ini juga sama sekali tidak memiliki halaman. Satu lagi ruangan sangat kecil ukuran sekitar 4 x 1 meter disiapkan khusus untuk ruang komputer.
Imam adalah orang yang dipercaya lembaga sekolah ini untuk membawa SD Tanwirul Wathon lebih berkembang. Dengan sarana dan prasarana yang terbatas, alumnus Unesa jurusan matematika ini mengaku dihadapkan pada kenyataan sulit. Saat ini, kelas satu hanya diisi dua anak.

“Karena ada tiga ruang kelas, seluruh siswa masuk bergantian. Ada yang masuk pagi ada yang siang. Tapi semangat belajar siswa di sini sangat luar biasa. Kami memiliki sembilan tenaga pengajar,” lanjut Imam.

Menurutnya, SD milik NU ini ada, untuk memenuhi permintaan hak pendidikan warga. Apalagi, rata-rata yang sekolah di tempat ini adalah anak para PKL, warga menengah ke bawah, dan warga pendatang.

SD ini pernah mencapai kejayaan. Imam yang merupakan alumnus SD ini pernah duduk di satu bangku tiga anak. Namun saat ini, kelas satu hanya dua anak. Awalnya yang mendaftar 11 tapi yang kembali hanya dua.

Kelas lain, rata-rata tujuh sampai delapan anak. Saat sekolah ini diminta akreditasi, Imam selaku kepala sekolah harus mengikuti prosedurnya. Namun, betapa kagetnya saat melihat persyaratan dan perangkat akreditasi yang hampir tak bisa dipenuhinya. Terutama jumlah siswa yang di bawah 60. “Kalau kemudian dicabut izin operasional kami, itu barangkali konsekuensi. Tetapi, kami harus sampaikan, guru di sini juga bekerja untuk keluarga. Begitu juga dengan siswa juga harus dipikirkan hak pendidikannya,” ungkapnya.

Kondisi yang hampir sama juga terjadi di SD Advent. Namun, SD ini masih relatif baik karena memiliki enam ruang kelas yang representatif. Kelasnya nyaman dan luas. Namun, jumlah siswa masing-masing kelas sangat minim. Kelas satu lima anak, kelas dua tujuh anak, dan selebihnya semua di bawah 10.

Kepala SD Advent Johanes Kalunata, saat dikonfirmasi mengakui bahwa semua menjadi tantangan dirinya. Apalagi prestasi siswa didiknya juga patut dibanggakan. Hasil nilai ujian akhir nasional rata-ratanya tujuh.

“Saya akui, siswa kami sedikit. Kami kurang promosi. Prestasi anak-anak sangat bagus. Setahun ini kami usahakan menambah murid. Soal dicabut izin operasionalnya, kami harus bicarakan dengan Yayasan Perguruan Advent,” katanya sambil menambahkan, sekolahnya ini berdiri sejak 1965. (SURYA)
Share this Article on :
 

© Copyright surabaya view 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.